Bermula
Bandar Itu di Gampông Pande
oleh Herman RN
[Artikel ini merupakan tulisan lama yang
pernah dimuat pada buletin "tuhoe" JKMA Aceh, edisi XII, Mei 2010]
April adalah bulan sejarah bagi Kota Banda Aceh. Pada bulan ini, Banda
Aceh yang kala itu masih bernama Kutaraja dilakab sebagai
ibukotaKerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam, yang sekarang jadi ibukota
Provinsi Aceh.
Penamaan ini tentu memiliki catatan sejarah. Gampông Pande,
demikian nama muasal kejadian Kota Banda Aceh. Berderet situs sejarah terdapat
di sana. Di antaranya makam raja-raja Aceh masa lampau sebagai bukti di Gampông
Pande pernah bertahta kerajaan Islam.
Tak hanya makam para raja dan lakseumana, masa lalu, di sana
juga terdapat lokasi pengrajin emas yang sangat pandai dan terkenal. Lokasi ini
tepatnya di Kuta Blang, yang sekarang jadi nama salah satu lorong di gampông
tersebut. Hasil kerajinan masyarakat di gampông ini, masa sejarah dijual hingga
ke Turki, Malaysia, Prancis, dan Inggris. Kendati si pandai emas bukan penduduk
asli Gampông Pande, ia terkenal dan dikenal bermukim di sana.
Mengenang semua itu, kadang kita hanya dapat berucap bahwa
generasi sekarang hanya pintar nostalgia semata. Buktinya, sekarang kita yang
mengekspor berbagai kebutuhan dan hasil kerajinan dari luar. Setingkat
kebutuhan dapur saja, tanpa Medan, mungkin masyarakat Banda Aceh bahkan Aceh
secara umum tak jadi apa-apa.
Sejarah Kejadian
Para arkeolog dan sejarawan pernah melakukan penelitian terhadap
batu-batu nisan pada komplek pemakaman di Gampông Pande. Di antara batu nisan
disebutkan adalah milik Sultan Firman Syah, cucu Sultan Johan Syah. Dari
sinilah kemudian terungkap bahwa kampung yang menjadi asal mula Kota Banda Aceh
itu dibangun pada Jumat, 1 Ramadhan 610 Hijriah atau 22 April 1205 Masehi.
Gampông yang menjadi pusat kerajaan ini dibangun oleh Sultan
Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan
ibukotanya Bandar Lamuri. Beberapa catatan menyebutkan Kota Lamuri adalah “Lam
Urik” yang sekarang terletak di Aceh Besar. Akan tetapi, menurut Dr. N.A.
Baloch dan Dr. Lance Castle, yang dimaksud dengan Lamuri adalah “Lamreh” di
Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan istananya dibangun di
tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Gampông Pande sekarang ini
dengan nama “Kandang Aceh” (dari situs Pemko Banda Aceh).
Dari sebuah literatur disebutkan masa pemerintahan cucunya
Sultan Alaidin Mahmud Syah, pernah dibangun sebuah istana baru di seberang
Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan
Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang). Beliau juga disebutkan mendirikan
Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H, yang kala itu masih berkubah satu.
Berdasarkan temuan tersebut, Banda Aceh
kemudian ditabalkan sebagai kota Islam tertua di Asia Tenggara. Kota ini pernah
menjadi sangat terkenal sebagai Bandar Aceh Darussalam, terutama
masa gemilangnya Kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Iskandar Muda berdaulat
dan beberapa sultan lainnya. Namun, kegemilangan itu runtuh pelan-pelan karena
pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang berkuasa dengan adik-adiknya.
Peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat
Pocut Muhammad.
Setelah Bandar Aceh Darussalam menjadi
puing dan dianggap sebagai puing Kota Islam tertua di Nusantara, Belanda
mendirikan Kutaraja sebagai langkah awal mereka untuk usaha penghapusan dan
penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam. Sejak itu,Bandar Aceh
Darussalam diganti nama menjadi Kutaraja (kotanya para raja) oleh
Gubernur Hindia Belanda, Van Swieten. Pergantian nama itu dilakukan pada 24
Januari 1874 setelah Belanda berhasil menduduki istana/kraton.
Pergantian nama ini kemudian disahkan oleh
Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit bertanggal 16 Maret
1874. Namun, pergantian tersebut mendapat penentangan di kalangan tentara
Kolonial Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Mereka mengangap Van Swieten
hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para
pejuang Aceh, sedangkan mereka sendiri meragukannya.
Dalam perjalanannya, 89 tahun kemudian dari peristiwa tersebut,
tepatnya tahun 1963, Kutaraja diganti nama menjadi Banda Aceh. Pergantian nama
ini berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah
bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Semenjak tanggal tersebut resmilah
Banda Aceh menjadi nama ibukota Provinsi Aceh sampai sekarang. Kota Banda Aceh
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 dan merupakan daerah
otonom dalam Provinsi Aceh.
Pascatsunami
Setelah Kota Banda Aceh dan wilayah Aceh
umumnya diamuk gempa dan gelombang tsunami, kini Banda Aceh sedang berusaha
‘berdiri’ kembali untuk kesekian kali. Saat ini, di tangan Mawardi Nurdin dan
Illiza Sa’aduddin, Banda Aceh hendak dijadikan Bandar Islami,
dengan namaBandar Wisata Islami. Tentunya ini impian terhadap
kegemilangan masa lalu.
Adalah cita-cita luhur Banda Aceh menjadi Bandar
Wisata Islami. Harapan masyarakat cita-cita ini bukan sekadar nostalgia
kegemilangan karena Banda Aceh pernah jadi pusat tamadun Islam Nusantara.
Selain itu, pembangunan hendaknya tidak hanya dipusatkan di bagian kota saja,
sedangkan Gampông Pande yang merupakan cikal bakal Kota Banda Aceh lantas jadi
terlupakan karena posisinya yang di pojok. Bukan hanya Gampông Pande, beberapa
situs sejarah di wilayah Kota Banda Aceh juga harus menjadi perhatian
pemerintah. Pembangunan yang semata memikirkan fisik bertingkat ala lembaga donor
semoga tidak menjadi acuan total pemko.
Kendati Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) serta beberapa
lembaga donor telah mengakhiri masa kerja di Aceh, masyarakat tetap berharap
pemerintah kota dapat membangun Kota Banda Aceh seperti dicita-citakan.
Sejarahlah yang membuat kita bangga pada hari ini. Maka kebanggaan generasi
mendatang adalah sejarah yang kita ukir masa sekarang. Semoga Gampông Pande
tidak sekadar tercatat di buku sejarah sekolah, tapi di hati masyarakat Aceh
secara umum bahwa di sanalah muasal bandar itu.
(tulisan ini dimuat kembali pada tabloid
KONTRAS, edisi 1-7 Juli 2010, dengan sedikit gubahan)
0 komentar:
Post a Comment