Bahasa Persatuan: Kasus Thailand, Filipina, India dan Aceh



Tahun 1997 saya membeli bukuSoliloqui. Buku ini merupakan kumpulan artikel Farid Gaban diRepublika yang kemudian dibukukan. Dalam buku itu dia bercerita tentang “kecemburuan” teman Filipinanya terhadap bahasa Indonesia. Kata teman Filipinanya, dia salut dengan Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Berbeda dengan Filipina yang menggunakan bahasa Tagalog sebagai bahasa pemersatu, padahal tidak semua orang di Filipina dapat berbahasa Tagalog.

Kesalahan memilih bahasa pemersatu menjadi bumerang bagi pemerintah Filipina karena mereka yang berada di wilayah selatan Filipina berontak. Memang, bahasa bukan salah satu penyebab kekisruhan yang terjadi di Filipina. Soal agama dan kesenjangan ekonomi adalah beberapa isu yang menyertainya.

Tahun 2003 saya sempat tinggal di Thailand. Di negara ini, saya juga melihat hal sama. Bahasa persatuan yang dipakai adalah Thai, bahasa mayoritas yang dipahami masyarakat. Padahal, di beberapa daerah, terutama di Thailand Selatan, mereka menggunakan bahasa berbeda. Alhasil kelompok minoritas ini merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat.



Di Adelaide (Australia Selatan), hal sama dialami penduduk India. Saya baru tahu jika India juga mempunyai bahasa beragam. Sayangnya, mereka tidak mempunyai bahasa persatuan, seperti bahasa Indonesia sehingga mahasiswa India yang berasal dari selatan India, misalnya, harus menggunakan bahasa Inggris saat berbicara dengan mahasiswa India yang berasal dari wilayah India Utara.

Beruntung saya bisa bertemu dengan mahasiswa India di sini, lalu melanjutkan diskusi yang tertunda. Saat saya ceritakan keheranan saya bahwa India tidak punya bahasa pemersatu, ia mengiyakan. Katanya, karena terlalu banyak bahasa yang ada di India, bahasa Inggris-lah yang dipakai sebagai bahasa persatuan. Alasannya adalah karena bahasa Inggris merupakan bahasa mendunia sehingga memudahkan mereka berkomunikasi jika mereka punya kesempatan ke luar negeri.

Kedua, India pernah dijajah Inggris sehingga bahasa itu tidak asing bagi mereka. Menurutnya, di satu sisi penggunaan bahasa Inggris itu bagus karena memudahkan mereka saat melanjutkan sekolah ke luar negeri seperti dirinya. Namun, di sisi lain hal itu “mematikan” bahasa lokal karena tidak sering dipakai. Akan tetapi, untuk kasusnya, dia merasa beruntung karena bahasa lokal masih diajarkan di sekolah-sekolah. Saya katakan bahwa saya menonton acara dokumenter di salah satu channel TV Australia yang menunjukkan seorang anak perempuan berumur sekitar 13 tahun begitu lancar menjelaskan perjalanannya ke sebuah desa di India dalam bahasa Inggris.

Menurut teman India ini, kebanyakan remaja yang pintar bahasa Inggris adalah mereka yang tinggal di kota-kota besar sebab selain karena pengajaran bahasa Inggris yang baik, juga karena banyak turis yang datang. Berbeda dengan mereka yang tinggal di pedesaan. Pelajaran bahasa Inggris yang mereka dapatkan tidak sebaik mereka yang tinggal di kota dan juga tidak banyak turis asing pengguna bahasa Inggris yang datang ke desa mereka.

Ulasan teman ini terbukti dari film dokumenter yang saya lihat. Anak-anak dari sebuah desa di India tidak bisa berbahasa Inggris sehingga si pewawancara yang berkunjung ke desa itu harus menggunakan penerjemah.

Jadi, berkaitan dengan bahasa persatuan, bagi saya, bahasa pemersatu yang harus digunakan adalah yang dipakai kaum minoritas sehingga mereka tidak merasa tertindas. Dengan begitu, kelompok minoritas akan merasa dihargai dan tidak terisolasi. Ini bisa kita lihat pada kasus Filipina atau Thailand yang memakai bahasa penduduk mayoritas sebagai bahasa persatuan. Akibatnya, penduduk minoritas seperti Pattani di selatan Bangkok dan Mindanao di selatan Manila merasa terkucilkan dan tersisih.

Menggunakan bahasa kaum minoritas bisa jadi memicu permasalahan lain, yaitu penolakan dari mayoritas. Kelompok mayoritas, yang tidak sensitif terhadap kepentingan kelompok minoritas, bisa saja berkata bahwa “Kami yang berkuasa, maka kami yang menentukan’. Jika pendapat seperti ini yang muncul, kasus Thailand dan Filipina bisa saja terjadi.

Melihat kasus di Filipina dan Thailand ini, betapa bangganya saya pada pendahulu saya yang memilih bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa daerah lainnya yang digunakan sebagai bahasa pemersatu. Bahasa yang mereka pilih adalah milik minoritas, bukan mayoritas. Akibatnya, ketimpangan mayoritas dan minoritas tidak menjadi masalah seperti di Filipina dan di Thailand.

Begitu juga, kita tidak menjadi seperti mahasiswa India tadi, yang harus menggunakan bahasa Inggris hanya untuk berkomunikasi meski berasal dari satu negara. Betapa bapak dan ibu bangsa saat itu sudah memikirkan bahwa keberpihakan kepada mayoritas akan menyebabkan perpecahan bangsa di masa depan.

Paling tidak, Indonesia sudah menyelesaikan satu masalah, yaitu bahasa persatuan. Tinggal saja, Indonesia masih mempunyai ‘pekerjaan rumah besar’ tentang isu agama dan ketimpangan ekonomi.
Melihat pada kasus di Thailand, Filipina (dan mungkin saja India), bisakah kita mengambil pelajaran dari situ untuk melihat Aceh? Berpihakkah kita pada mereka yang termasuk golongan minoritas?
Sebagai pengingat, kita, di Aceh, mempunyai banyak sekali bahasa lokal, seperti: Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Tamiang, Julu, Haloban, Pakpak, Nias, Lekon, Sigulai, dan Devayan. Dari banyaknya bahasa daerah yang kita punya, tidak bisa dipungkiri bahasa Aceh pesisirlah yang paling dikenal khalayak ramai. Ini karena, dalam asumsi saya, penduduk Banda Aceh (sebagai ibu kota provinsi), menggunakan bahasa Aceh. Belum lagi mayoritas penduduk Aceh memang menggunakan bahasa Aceh. Selain itu, banyak penduduk yang berbahasa Aceh bermigrasi ke daerah-daerah yang menggunakan bahasa minoritas sehingga bahasa Aceh lebih mudah berkembang dibandingkan bahasa daerah lainnya.

Di satu sisi, ini tentu suatu hal baik karena generasi penerus akan belajar bahasa lain selain bahasa ibu yang biasa dipakai di rumah. Di sisi lain, jika tidak disadari oleh si pemakai bahasa ibu, bahasa mayoritas ini akan “menguasai” bahasa minoritas dan sedikit demi sedikit bahasa minoritas ini akan menghilang.

Belum lagi jika pihak mayoritas yang merasa berkuasa, lalu “memaksakan kehendaknya” untuk menggunakan bahasa mayoritas dalam kehidupan sehari-hari. Aceh dalam hal ini, penguasa Aceh, perlu mencermati agar kasus Thailand, Filipina, dan (mungkin) India tidak terjadi di Aceh

penulis :  Rosnidasari, Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Share on Google Plus

About Zulfajri Ery Syahputra

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment