Tanggal 1 Oktober 2012. Memori kita mau tidak mau harus kembali memutar kisah untuk mengingat sejarah pada tanggal yang sama di tahun 1965. Sebuah kup berdarah yang telah menewaskan tujuh orang jenderal Angkatan Darat (AD) yang kemudian diangkat menjadi Pahlawan revolusi. Peristiwa itu kemudian kita kenal dengan nama Gestapu atau G 30 S/PKI.
Itulah peristiwa berdarah yang paling kontroversial di Republik Indonesia. Dengan skenario matang yang diaminkan oleh aktor-aktor politik, anak negeri kemudian melakukan pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan atau yang di duga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) diseluruh nusantara. Dengan stigma atheis, mereka dibabat habis, tanpa pernah di hadirkan ke pengadilan.
Tulisan ini bukan hendak membela PKI. Juga bukan membenarkan orang-orang yang membantai “generasi PKI” yang disebut-sebut tidak layak hidup di bumi nusantara ini. Namun, penulis ingin “mencolek” sedikit kesaktian Pancasila, yang hari ini, diseluruh negeri diperingati sebagai pengulang masa, bila dasar negara kita itu mempunyai kesaktian yang mandraguna.
Penulis masih ingat sekali, cerita salah seorang Pak Wa (abang kandung ibu penulis) yang menceritakan, saat 1965 itu, ketika Pancasila masih sangat sakti, dalam waktu sekejap saja prajurit Pancasilais dan massa yang di dukung oleh “berita provokasi” dari koran Berita Yudha, melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir PKI.
Maka setiap malam, di bulan-bulan pembantaian tangisan pilu terdengar menyayat dari pinggir lubang kuburan massal. Algojo dengan kawalan prajurit tempur, menetak siapa saja yang diangkut bagai binatang ke kamp-kamp pembantaian.
Kisah kehebatan itu kemudian di filemkan dan wajib tonton setiap tanggal 30 September. TVRI dengan setianya memutar film tersebut. Dan kita, mulai anak-anak sampai lansia disuguhkan visualisasi pemberontakan G 30 S/PKI selama berjam-jam. Permusuhan itu semakin tertanam.
Nah, selama bertahun-tahun (lebih kurang 30 tahun) kita terus di racun dengan kesumat dendam kepada PKI. Sehingga kita tidak sadar, bila kesaktian Pancasila yang diagung-agungkan itu telah secara perlahan-lahan dibelokkan oleh mereka yang punya jabatan (baik sipil maupun militer) untuk kepentingan kelompok maupun pribadi.
Aceh, yang juga ikutan terlibat dalam pembersihan anasir PKI, ternyata “hana di boh yum” oleh mereka yang ada di Jakarta. Semangat Pancasila yang selalu dikumandangkan di setiap upacara bendera hari Senin di sekolah-sekolah dipraktikkan dalam bentuk penghisapan terhadap Aceh.
Kala itu Hasan Tiro, deklarator Aceh Merdeka (AM) marah dan mulai memberikan perlawanan. Sebelumnya Daud Bereueh juga pernah melakukan hal yang sama. Lalu apa jawaban dari perlawanan meminta keadilan dari anak negeri yang notabenenya pemilik alam daerah yang di klaim sebagai bagian dari republik?
Serdadu, ya serdadu bersenjatalah jawabannya. Kopassus dikirim ke Aceh untuk menghentikan perlawanan rakyat. Padahal saat itu AM belum mengakar di tengah masyarakat. Namun kehadiran Kopassus telah menghadirkan masalah baru. Yaitu pembunuhan tanpa alasan atas nama menjaga kedaulatan NKRI. Ini mengakibatkan bibit-bibit perlawanan semakin banyak lahir ke bumi Aceh.
Di sisi yang lain, kesejahteraan tak kunjung dirasakan oleh rakyat. Semakin hari semakin banyak saja masyarakat Aceh yang jatuh miskin, di bunuh tanpa sebab, di tolak bekerja di instansi pemerintah, yang lebih parah lagi, peraturan “nasional” yang bernuansa jahiliyah pun di praktekkan di Aceh, yaitu setiap muslimah dilarang menggunakan jilbab. Sehingga banyak perempuan muslim di Aceh yang harus memilih keluar dari sekolah umum karena pihak sekolah tidak menerima siswa yang berjilbab.
Gelombang “Tienisasi” atau (menjadikan semua perempuan seperti Tien Soeharto) pun semakin meningkat. Ibu-ibu mulai dari level istri kepala lorong sampai istri pejabat diwajibkan pakai baju kebaya dan sanggul ala Tien. Ini bentuk penelanjangan secara terstruktur terhadap keislaman orang Aceh yang dilakukan oleh negara.
Rakyat Aceh semakin dibuat sakit. Gelombang perlawanan pun semakin membesar. Dukungan terhadap AM semakin membuncah dan pelanggaran HAM secara sistematis pun dimulai.
Semua itu kemudian direkam oleh sejarah. 1989- 1998, Daerah Operasi Militer (DOM) diterapkan di Aceh. Kemudian dilanjutkan dengan Operasi Wibawa, Operasi Sadar Rencong I sampai III. Operasi Cinta Meunasah I dan II, Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum, Darurat Militer, serta Darurat Sipil.
Pembantaian terhadap rakyat pun semakin nyata. Sebut saja beberapa pembantaian secara brutal yaitu tragedi Rumoh Geudong (1990-1998). KNPI (3 Januari 1999). Tragedi Arakundo (3 Februari 1999, Simpang KKA ( 3 Mei 1999), Beutong Ateuh (23 Juli 1999), Bumi Flora (9 Agustus 2001) dan Jamboe Keupok (17 Mei 2003)
Siapa pelakunya? Semua kita tahu tentunya. Mereka yang mengaku mencintai dan membela republik inilah aktor utama dan juga merangkap sebagai figuran. Darah bersimbah di Aceh. Tangisan rakyatnya tak ada yang peduli. Baik polisi maupun tentara di masa itu telah berubah menjadi mesin pembunuh rakyat Serambi Mekkah.
Lalu satu pertanyaan mendasar, mengapa di Aceh Pancasila gagal untuk sakti? Mengapa sila-silanya tidak mampu memberikan perlindungan kepada segenap rakyat Aceh yang sebelumnya telah merawat bayi Garuda ketika baru lahir? Apakah kesaktiannya telah luntur seiring lunturnya pengaruh PKI di nusantara? Ataukah kesaktian itu hanya dilahirkan sementara untuk membabat habis PKI yang notabenenya musuh bebuyutan militer di masa itu? Walllahua'lam
Penulis wartawan The Globe Journal, peminat masalah sosial dan politik.
*Sumber: THE GLOBE JOURNAL
Read more: http://www.atjehcyber.net/2012/10/pancasila-gagal-sakti-di-aceh.html#ixzz28KezRGAx
0 komentar:
Post a Comment