Era baru telah dimulai di Aceh. Zaini dan Muzakir (ZIKIR) telah dilantik sebagai gubernur untuk periode 2012-2017. Periode ini tidak hanya penting untuk kehidupan sosial dan politik Aceh, tapi juga untuk perkembangan daerah dan nasional Indonesia. Meskipun faktor tersebut penting, ada yang tak kalah pentingnya yaitu pendekatan global internasional untuk melanjutkan hubungan dengan luar negeri, seperti dengan para perwakilan tertinggi Uni Eropa yang menghadiri pelantikan gubernur dan lainnya.
Bahkan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Gamawan Fauzi mengaku bahwa pelantikan ZIKIR menjadi pemecah rekor terbanyak dihadiri perwakilan Uni Eropa. Ini harus dimanfaatkan dengan baik. Amat disayangkan mengingat negara-negara muslim baru mengenal Aceh setelah tsunami, tidak seperti negara-negara Eropa yang telah lama mengetahui keberadaan Aceh.
Mari kita pikirkan bersama tentang masa depan Aceh untuk lima tahun ke depan di bawah naungan ZIKIR. Meskipun ada berbagai perselisihan dan pertentangan pendapat selama masa pemilihan, sekarang waktunya rakyat Aceh bahu membahu membangun Aceh sebagaimana Zaini telah mengmbau semua pihak untuk bersatu padu demi menciptakan kemajuan-kemajuan Aceh dengan menanamkan kembali semangat persaudaraan, karena pada dasarnya hasil pilihan rakyat telah diputuskan.
Namun itu tidak berarti bahwa kita akan mengabaikan perselisihan di antara kelompok, tapi sebaliknya mengadakan rekonsiliasi melalui upaya dari kaum intelektual, partai lokal dan nasional, pihak ulama, institusi masyarakat sipil, universitas, akademisi, dan masyarakat awam.
Saat saya menyaksikan permainan selama masa pemilihan kepala daerah, saya kembali teringat dengan apa yang terjadi di Aceh 200 tahun lalu. Saat itu Sultan Jauhar Alam Shah dan oposisi secara keras menentang satu sama lain sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh manfaat dari kompetisi para kolonialis di peredaran Selat Malaka. Dan akhirnya, ketika Singapura muncul sebagai wilayah baru, Aceh telah kehilangan separuh besar inisiatif untuk bergelut dalam percaturan politik dan bisnis dunia.
Mari kita alihkan perhatian pada bagian praktik yang bisa kita lakukan sekarang. Sebagaimana ‘Aceh Baru’ merupakan produk MoU Helsinki setidak-tidaknya dalam hal tertentu, seluruh kriteria yang tertulis dalam teks sebaiknya ditegakkan secara konkrit. Tidak seperti yang diperkirakan oleh beberapa pihak, MoU Helsinki tidak hanya menutupi isu politik tetapi juga isu sosial, ekonomi, dan perkembangan budaya Aceh.
Jadi, bagaimana kaum intelektual dalam masyarakat Aceh dapat melewatkan kenyataan ini. Jika pelaksanaan MoU Helsinki dapat dijalankan dengans sukses, mengapa Aceh tidak menjadi model untuk wilayah-wilayah konflik lainnya di Asia Tenggara seperti Mindanao, Arakan, dan lain sebagainya.
Isu yang harus dipecahkan saat ini adalah bagaimana orang Aceh mampu menangani kemiskinan, buruknya sistem dan ketidakseimbangan keadilan, dan yang paling penting lagi adalah mengatasi dan mencegah penyebaran mental korupsi. Sebagaimana diketahui secara global bahwa korupsi adalah ibu dari pincangnya sistem sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Isu korupsi ini telah saya sebutkan dalam artikel saya berbahasa Turki di situs berita www.dunyabulteni.net yang berkantor di Turki. Di sana saya sebutkan bahwa isu korupsi tidak datang dari orang Aceh sendiri tetapi semacam virus yang didatangkan pihak luar. Maka tanpa mampu menyelesaikan isu korupsi, hampir tidak mungkin rasanya untuk mampu mengatasi persoalan lainnya.
Saya secara pribadi menganjurkan kepada pihak terkait untuk dapat mengorganisir seminar eksklusif untuk seluruh lapisan masyarakat di Aceh. Dan beberapa komite sebaiknya diwujudkan dengan melibatkan berbagai jenis profesi dalam masyarakat. Lebih baik lagi jika program ini diutamakan melalui pengaktifan nilai-nilai syariat Islam yang pada dasarnya tidak semata-mata diikat dengan hukuman tapi lebih pada struktur pre-emptive action.
Pihak berwenang syariat Islam harus menata kembali butir-butir hukum bagi pelaku korupsi yang tidak hanya adil bila diberlakukan terhadap warga dengan nilai curian sedikit, tapi juga adil bagi pelaku pencurian harta publik. Tentu kedua pelaku dalam hal ini tidak akan menerima hukuman yang sama. Mengapa kita larut dalam fenomena hukuman terhadap jilbab perempuan-perempuan Aceh yang hanya berujung pada pengolok-olokan terhadap kewenangan syariat Islam.
Inilah kesempatan Aceh untuk menjadi model bagi dunia dalam penumpasan korupsi secara islami. Sebagaimana pimpinan Partai Islam se-Malaysia (PAS), Dato Seri Haji Abdul Hadi Awang berargumen bahwa masyarakat nonmuslim akan bisa menerima pemberlakuan syariat Islam jika segala sistemnya dapat dirumuskan secara adil. Dalam rangka penyusunan langkah-langkah hukum syariat Islam yang tepat, segenap institusi, baik lokal, nasional, maupun internasional yang aktif menggerakkan program kemanusiaan di Aceh sebaiknya tidak dilewatkan oleh pihak komite dan penegakan syariat Islam.
Di sisi lain, saya berpikir ketika Muzakir Manaf menyebutkan bahwa tugas awal yang harus ditangani adalah persoalan merosotnya moral dalam masyarakat Aceh dan pentingnya keterlibatan dan keaktifan ulama untuk menggali akar persoalan moral tersebut telah menampakkan langkah awal yang baik untuk memulai pemerintahan 5 tahun ke depan.
Perkara penting yang kedua adalah bagaimana mengaktifkan produk mentah Aceh seperti pertambangan, perikanan, pertanian dan agro business sebagai produk value-added. Artinya, produk tersebut tidak hanya dapat dijual sebagai sumber alami dengan harga terendah tapi juga dapat dijual setelah diolah dengan harga yang lebih menguntungkan. Produk ini dapat menempati posisi yang kuat di Asia Tenggara dan pasar internasional jika dapat diimplementasikan dengan baik.
Contohnya Singapura dan Malaysia mengekspor produk-produk semacam ini ke negara-negara tetangga. Di sisi lain, negara-negara kaya teluk Arab tidak memiliki produk semacam ini oleh karena itu impor dari negara lain sangat dibutuhkan. Pada dasarnya, Aceh sudah mempunyai potensi sumber produk, posisi geografis yang strategis, dan ikatan sejarah dengan wilayah tersebut.
Kita tidak perlu menemukan Amerika kembali. Tidak ada apa pun yang bisa didapatkan di Amerika. Ada banyak model yang bisa kita ambil dari sekeliling kita. Contohnya pada tahun 1960-an Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia memberlakukan proyek Felda yang terdiri atas pengolahan minyak kelapa sawit. Saat ini Felda telah menjadi nomor satu di Asia Tenggara dan nomor dua dalam pasokan pasar global. Proyek semacam ini diolah oleh agen-agen pemerintah dan masyarakat sipil yang tidak memiliki tanah.
Masyarakat tersebut dibekali hanya dengan sebidang tanah yang cukup untuk menggerakkan proses proyek. Tidak hanya pemerintah yang kemudian maju tapi juga masyarakat sipil. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah merangkul setiap ahli dalam bidangnya masing-masing dan digabungkan dengan sumber daya manusia Aceh di lapangan. Cara yang sebaiknya dipilih adalah secara selektif dan bukan bersifat hierarki karena pada dasarnya masyarakat Aceh lebih tahu bahwa mereka memiliki paradigma berbeda dari mereka yang pendatang.
Penulis Mehmet Ozay, peneliti Independen berkebangsaan Turki;
Pemerhati sejarah Aceh; pendiri Pusat Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT)
Artikel; rubrik opini Serambi Indonesia
0 komentar:
Post a Comment