DALAM beberapa tahun terakhir ini, inong Aceh selalu menjadi sorotan publik. Sorotan ini tidak terlepas dari adanya yang tidak “beres” lagi dengan inong Aceh jameun jinoe (perempuan Aceh zaman sekarang), yang dalam konteks ini adalah berubahnya citra dan marwah inong Aceh dari nilai-nilai Syariat Islam.
Banyak orang yang beranggapan bahwa sebagian inong Aceh sekarang sudah menjelma menjadi inong Aceh modern, yang dalam hal ini adalah modern yang sudah di luar kewajaran. Melihat fenomena tersebut, pantaslah bahwa ada anggapan miris dan sorotan negatif terhadap inong Aceh jameun jinoe.
Sudah mewabah
Secara garis besar sorotan tersebut antara lain: Pertama, memakai baju dan celana ketat, bukanlah budaya yang tidak lumrah lagi bagi inong Aceh jameun jinoe, seakan-akan itu hal biasa, dan tidak asing lagi di Aceh. Trend inilah sekarang yang sudah mewabah pada inong Aceh jameun jinoe. Tidak hanya anak gadis, tapi juga sebagian ibu-ibu atau perempuan paruh baya.
Kedua, rebonding atau peutepat ôk (meluruskan rambut), memang lagi marak-maraknya sekarang dan sudah membudaya pula di kalangan inong Aceh. Dalam perspektif sebagian inong Aceh jameun jinoe, kalau rambutnya tidak di-rebonding, maka dia akan malu dengan rekan kerjanya atau temannya yang lain.
Demi mempertahankan martabatnya sebagai wanita karir dan sebagai wanita yang ingin mendapat atensi lebih dari publik, maka dia rela mengorbankan rambutnya yang alami menjadi bahan invansi alat rebonding. Sunggguh manusia tidak mensyukuri lagi apa yang telah Allah swt anugerahkan kepada hamba-Nya.
Ketiga, nongkrong atau ngumbar (ngumpul bareng) di tempat orang khalayak ramai, atau duk-duk di keudè kupi (duduk-duduk di warung kopi) sudah menjadi salah satu trend baru inong Aceh jameun jinoe. Trend ini berkembang seiring dengan banyaknya tersedia keudè kupi atau tempat-tempat publik lainnya di Aceh.
Apalagi sekarang sudah berlaku kesetaraan gender antara lelaki dengan perempuan, alasan inilah yang mendorong inong Aceh jameun jinoe semakin pede untuk terus berupaya guna mendapat hak yang sama seperti ureung agam. Dengan menyandang predikat inilah, tidak jarang kita lihat inong Aceh jameun jinoe juga ikut berperan aktif cang panah di warkop.
Keempat, karir. Di mana seorang wanita sudah menjadikan karirnya sebagai prioritas utama, sedangkan hal yang wajib yang seharusnya diemban oleh seorang perempuan, seperti, mengurus suami, keluarga sudah menjadi prioritas cadangan. Padahal, mengurus suami atau keluarga adalah hal yang wajib bagi seorang perempuan, sedangkan mengenai nafkah itu tanggung jawab suami.
Tapi di era sekarang ini sudah terbalik, banyak kaum lelaki kini berperan di sektor domestik, padahal posisi domestik ini seharusnya diduduki oleh perempuan. Ini terjadi karena kurangnya waktu luang si istri, sang istri begitu sibuk di tempat dinas atau tempat kerja. Belum lagi dengan jadwal tambahan alias lembur, jadi mau tidak mau si istri harus menghabiskan sebagian waktu malamnya di tempat kerja.
Kelima, imitasi atau meniru sesuatu. Imitasi dalam konteks ini adalah meniru gaya orang lain yang kemudian diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Meniru gaya orang sebenarnya lumrah-lumrah saja, dengan catatan ada batasan-batasan yang bisa kita pertimbangkan dan tentunya sesuai dengan kultur dan budaya daerah kita yang mencerminkan Syariat Islam.
Bukan meniru gaya orang yang bisa merusak nilai-nilai moral yang berefek negatif bagi diri sendiri dan orang lain. Seperti imitasi yang paling teraktual saat ini adalah banyak inong Aceh yang meniru gaya selebritis.
Realitas sehari-hari
Problema di atas merupakan realitas sehari-hari yang sudah terlihat dengan kasat mata. Sungguh sangat disayangkan apabila budaya itu akan terus berlanjut dan berkembang di Nanggroe Seuramoe Mekkah ini. Bukan mustahil apabila budaya itu nantinya akan terwarisi ke generasi selanjutnya.
Coba bayangkan apa yang akan terjadi nanti dalam beberapa puluh tahun yang akan datang pada anak dan cucu kita dengan warisan budaya gelap yang kita tinggalkan pada mereka, dan apa yang akan terjadi dengan mereka terjadilah. Tidak tertutup kemungkinan Aceh ini akan masuk dalam jurang kegelapan. Na’uzubillah summa na’uzubillah.
Melihat fenomena tersebut, pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam telah menyusun langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi pengaruh negatif budaya luar, antara lain dengan mensosialisasikan penerapan Syariat Islam, melakukan razia (sweeping) di tempat keramaian, dan sweeping yang memakai baju ketat.
Akan tetapi, sejauh ini strategi seperti itu belum menunjukkan hasil yang maksimal, implementasinya terkesan cilèt-cilèt dan belum merata. Harus diakui, bahwa memang sulit untuk mengaplikasikan tuntutan Syariat Islam pada masyarakat, jika hal ini tidak dibarengi dengan tumbuhnya kesadaran pada masyarakat itu sendiri.
Boleh jadi, Dinas Syariat Islam sudah bekerja maksimal dalam mengupayakan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjalankan Syariat Islam ini. Namun, ke depan kita harapkan agar kinerjanya lebih ditingkatkan lagi secara intensif dan mengevaluasi ulang sejauh mana sudah implementasi Syariat Islam di Aceh.
Tidak cukup melalui razia untuk melaksanakan Syariat Islam di Aceh, tapi perlu keterlibatan berbagai pihak dan semua elemen untuk sama-sama menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjujung tinggi nilai-nilai Syariat Islam. Baik itu pihak keluarga, ulama, guru, teungku, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pihak-pihak lainnya.
Seiring dengan itu, kita mengharapkan pula agar berbagai pandangan dan sorotan negatif terhadap inong Aceh jameun jinoe, berganti menjadi inong Aceh yang shalihah. Inong Aceh idaman, yang menjunjung tinggi adat budaya Aceh yang bersendikan pada nilai-nilai Syariat Islam. Insya Allah!
penulis : Arifin S.
MANTAP ARTIKELNYA brother..
ReplyDelete