Jamaah "punk" iyyah
Oleh K. Bustamam-Ahmad (*
SECARA pribadi, saya tidak begitu mengenal bagaimana aliran Punk itu sendiri. Karena itu merupakan sejarah “orang sakit hati” di Eropa dan Amerika Serikat. Sejak awal, gerakan Punk ini tidak begitu popular, karena dia hanya berkutat pada musik semata. Namun, ketika isu ‘Jamaah Punkiyyah’ muncul di Aceh, tentu saja akan memerlukan penjelasan. Salah seorang kawan di pulau Jawa, pada tahun akhir 1990-an, pernah menceritakan bahwa dia pernah ikut aliran hitam. Aliran ini muncul di kalangan anak muda yang masih belasan tahun dan suka ngeband. Mereka awam orientasi hidup dan agresif terhadap kebebasan.
Yang menarik adalah setiap malam bulan purnama, beberapa anggotanya melakukan ritual meminum darah merpati di atas gedung dan mempersembahkan kepada spirit yang mengendalikan tubuh mereka. Merpati yang diminum darahnya adalah dengan cara memelintir kepala, lalu meminum darahnya secara bergiliran. Ritual ini tentu saja tidak akan dilakukan oleh mereka yang masih baru mengenal atau menjadi anggota jamaah ini. Dalam studi antropologi, fenomena ini sangat lazim di Barat, di mana pemujaan terhadap spirit, adalah sebuah kewajaran dan kewajiban, untuk menunjukkan kesetiaan pada jaringan jamaahnya.
Tentu saja, anak-anak Punk di Aceh belum sampai pada tahap tersebut, mengingat banyak kalangan yang menganggap ini adalah budaya pop semata. Akan tetapi, para penganut ritual ini berada di belakangnya, sambil mencari dukungan demi dukungan, supaya jamaah mereka semakin bertambah.
Di Banda Aceh, saya pernah melihat anak Punk di Taman Sari. Pagi hari mereka duduk bergerombol. Di sini karena kebebasannya masih dikungkung, maka anak Punk Aceh masih agak “malu-malu.” Mereka masih sebatas pemenuhan krisis identitas. Kuat dugaan bahwa ‘Jamaah Punkiyyah’ Aceh belumlah sehebat gerakan bawah tanah yang diceritakan oleh kawan di atas. Ini terlihat dari wajah mereka, yang masih hijau dan belum tahu kalau jiwa mereka yang bebas sebenarnya, tidaklah bebas sama sekali.
Perihal yang sama ketika saya melihat Jamaah Punk di Australia yang secara nasional telah menggelisahkan para orang tua. Para orang tua di Barat, khawatir anak-anak mereka yang bebas, telah memperlebar jarak antara kewajiban dan hak anak terhadap orang tua. Beberapa tahun yang lalu, di beberapa stasiun televisi mempublikasikan sikap anak-anak di Australia begitu mengkhawatirkan. Namun, karena negara Australia merupakan lebih 50% penganut agnostic (tidak percaya pada agama), akhirnya masalah ini pun tidak terselesaikan.
Terkait di Aceh, kemunculan ‘Jamaah Punkiyyah’ yang seolah-olah mendapat legitimasi “telepon istimewa” dari dua Dubes Jakarta, menyiratkan bahwa kehadiran mereka di Aceh mendapat perhatian khusus. Walaupun di negara para Dubes ini, ‘Jamaah Punkiyyah’ sama sekali tidak lagi populer. Hanya saja, di Aceh fenomena ‘Jamaah Punkiyyah’ ini muncul secara sistemik. Dalam beberapa perjalanan, terlihat mereka diangkut melalui truk-truk dan ditempatkan secara khusus. Pernah pada hari Minggu, anak-anak yang hendak menikmati Taman Sari harus menghindar wajah mereka dari tatapan anak-anak ‘Jamaah Punkiyyah.’
Artinya, ‘Jamaah Punkiyyah’ ini diberikan teritori, persis seperti yang dikerjakan oleh kawan-kawan saya di pulau Jawa. Tidak ada orang yang berani melarang mereka, karena ketika dikritik, mereka akan berdalih ini adalah demi kebebasan. Namun, beberapa yang sadar, kemudian malah menjadi juru dakwah dan berharap mulai dari anak hingga keluarga mereka jangan pernah bergabung dengan ‘Jamaah Punkiyyah’ ini. Alhasil, beberapa kawan yang terlibat dalam jaringan ‘Jamaah Punkiyyah’ di Pulau Jawa malah lari ke pesantren atau IAIN untuk menginstal kembali nilai-nilai agama dalam diri dan jiwa mereka.
Ini menunjukkan bahwa keberadaan ‘Jamaah Punkiyyah’ bukanlah masalah besar, namun dia merupakan satu sentilan gerakan penganut iblis yang ada di Barat. Sentilan ini hanya menargetkan anak muda, lalu diarahkan kepada grup-grup band. Untuk melihat mereka penganut iblis, bisa dilihat dari dan bahasa tubuh mereka, yang dikontrol oleh spirit Iblis. Dalam ilmu antropologi, ini dikenal dengan kajian occultism. Jadi keberadaan mereka adalah sesuatu yang wajar, karena spirit Iblis memerlukan wadah untuk mengembangkan peradaban baru. Namun mereka tidak akan pernah menjadi besar, sebagaimana di Barat. Tetapi, yang paling dikhawatirkan adalah diaspora jaringan ‘Jamaah Punkiyyah.’
Namun bagi Aceh, ini merupakan petaka sejarah, karena ‘Jamaah Punkiyyah’ hadir saat anak muda muak dengan perilaku elite dan korupsi yang merajalela. Mereka hidup di tengah masyarakat yang tidak bisa menggunakan rasionalitas yang baik, sehingga mengubah jati diri dan wajah mereka seperti yang terlihat dari anak Punk. Dalam kajian ilmu sosial, semua atribut ‘Jamaah Punkiyyah’ boleh dikata sebagai simbol-simbol dari pemujaan Iblis. Mulai dari warna pakaian, cara berpakaian, model rambut, cara menindik, serta hiasan mata, di mana dapat ditafsirkan bagian dari persenyawaan Iblis dalam tubuh manusia.
Namun oleh para pemasok ‘Jamaah Punkiyyah’ ini diputar menjadi alat kebebasan dan lalu ditarik pada domain “tidak ada yang salah pada kami” atau “apa salah kami?” Para pemasok inilah yang mengendalikan jaringan ‘Jamaah Punkiyyah’ dengan mendistribusikan anak-anak muda ini di pusat-pusat kota. Mereka hadir dengan wajah hippies. Sebenarnya, pada dataran tertentu, koneksi ‘Jamaah Punkiyyah’ ini sangat dekat dengan kondisi anak-anak muda Aceh yang menghisap sabu-sabu di sudut-sudut kampung di Aceh.
Karena itu, jika kehadiran ‘Jamaah Punkiyyah’ ini bertahan dan bersilaturrahmi dengan Jamaah Penghisap Sabu, maka itu menjadi satu petaka peradaban bagi rakyat Aceh. Karena Jamaah Penghisap Sabu memerlukan pakaian, di mana ‘Jamaah Punkiyyah’ bisa menjadi model mereka. Sedangkan, ‘Jamaah Punkiyyah’ perlu Jamaah Penghisap Sabu untuk mempertahankan jatidiri mereka di Aceh. Sayang, sebelum kedua Jamaah ini bertemu, mereka sudah harus dimandikan. Pola memandikan sebenarnya hal yang biasa dalam penyembuhan mereka yang sudah disorientasi. Mandi merupakan satu simbol pembersihan dan penyucian.
Jadi, kehadiran ‘Jamaah Punkiyyah’ di Aceh merupakan budaya impor, di mana di negara mereka sendiri tidak begitu diperhatikan. Salah satu peradaban dari yang menelpon Kapolda Aceh adalah mereka membiarkan seseorang sesat sesesatnya, lalu diberikan wadah agar seseorang itu sadar kembali. Inilah falsafah kenapa di Barat, orang dianggap “orang” ketika dia sudah berumur 40 tahun. Di Aceh, fondasi peradabannya tentu saja berbeda dengan Barat, di mana budaya sesat menyesatkan ditolak, bukan karena faktor agama, tetapi karena faktor alam yaitu hana jroh dan hana get. Jika para pemasok mampu menabrak dua hana ini, saya yakin mereka akan berhadapan dengan falsafah hana jeut atau hanjeut. Tiga lapis benteng budaya inilah yang membuat ‘Jamaah Punkiyyah’ harus keluar segera dari Aceh.
Akhirnya, artikel singkat ini hanya memberikan alasan dan bagaimana menyelesaikan masalah ‘Jamaah Punkiyyah’ di Aceh. Karena anggota ‘Jamaah Punkiyyah’ adalah anak-anak muda, maka sejatinya cara yang diperlukan adalah memberitahu bahwa apa yang mereka lakukan, sudah lama ditinggalkan di negara asal. Mereka tidak perlu diperlakukan secara tidak wajar. Jiwa dan hati mereka masih sangat bersih dan masih bisa dibangkitkan. Hanya saja pikiran dan cara pandang mereka yang dikotori oleh pemasok ‘Jamaah Punkiyyah.’ Demikian pula, janganlah isu ‘Jamaah Punkiyyah’ menjadi alat atau wahana untuk mengatakan bahwa “saya lebih baik dari mereka!”
sumber : http://www.atjehcyber.net
0 komentar:
Post a Comment