Sengkarut Bank Aceh
RAPAT Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Aceh itu digelar di Anjong Mon Mata, Kompleks Pendopo Gubernur Aceh, 10 Mei 2012. Direktur Utama Bank Aceh, Islamuddin, bangga melaporkan aset bank pelat merah itu meningkat pada tahun buku 2011. Di hadapan para pemengang saham yang hadir, Islamuddin mengatakan, aset tumbuh menjadi Rp 13,1 triliun lebih, dari sebelumnya Rp 12,2 triliun lebih pada Desember 2010. Bank Aceh juga membukukan laba bersih senilai Rp 276 miliar lebih. “Tepuk tangan bergemuruh,” kata seorang sumber pada The Atjeh Times, Jumat pekan lalu
Namun, itu hanya laporan keuangan. Menurut sumber itu, kondisi Bank Aceh sebenarnya berbanding terbalik dengan laporan di atas kertas, khususnya persoalan kinerja bank. Operasionalnya dinilai masih jauh dari prinsipGood Corporate Gavernance (tata kelola bank yang baik). “Rasio kredit macet masih tinggi, sedangkan rencana penyelesaiannya juga masih kabur,” katanya.
Berdasarkan laporan keuangan Bank Aceh hingga April 2012, total kredit macet atau nonperforming loan (NPL) bank ini mencapai Rp 323 miliar lebih, atau lebih 3 persen dari seluruh pembiayaan yang disalurkan, yakni senilai Rp 9 triliun lebih, (lihat tabel). Angka yang telah mendekati batas toleransi Bank Sentral Indonesia, yakni 5 persen.
Jumlah NPL itu bertambah sekitar Rp 26 miliar lebih dari total kredit macet pada Desember 2011, yakni Rp297,8 miliar lebih. Penyumbang terbesar NPL ini adalah macetnya pengembalian kredit sektor produksi yang mencapai Rp 292 miliar lebih. Selebihnya, kredit macet di sektor konsumsi senilai Rp 30,2 miliar lebih.
Sumber lain mengatakan, tingginya rasio kredit macet ini adalah bukti lemahnya kinerja manajemen, khususnya dalam menjalankan prinsip kehati-hatian sebagai syarat Good Corporate Gavernance.
Patut diduga, banyak proses pencairan kredit selama ini tak mengacu pada standar bank, tetapi cenderung berdasarkan praktik “main mata” antara bank dan debitur. “Kalau kemampuan analisis terhadap permohonan kredit, bank punya cukup sumber daya. Jadi, ini lebih pada unsur adanya kerja sama antara pihak bank dan debitur,” kata dia.
Parahnya, Bank Aceh belum memiliki rencana strategis untuk menyelesaikan persoalan kredit macet ini. Kepala Kantor Bank Sentral Indonesia Cabang Banda Aceh, Mahdi Muhammad, mengatakan manajemen Bank Aceh masih berupaya merampungkan rencana strategis tahun buku 2011. “Laporannya memang belum diserahkan. Mungkin dua atau tiga minggu ke depan sudah diserahkan,” kata Mahdi pada The Atjeh Time, Jumat pekan lalu.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Good Corporate Gavernance (GCG) memang mengharuskan setiap bank melaporkan pelaksanaan GCG-nya pada bank sentral setiap akhir tahun buku. Laporan GCG ini memuat rencana strategis yang meliputi kewajiban bank menyusun rencana korporasi (corporate plan) dan rencana bisnis (business plan). Dalam rencana strategis ini pula, salah satunya, bank diwajibkan mencantumkan rencana aksi penyelesaian persoalan kredit bermasalah tersebut.
“Ini penting sebagai bahan bagi Bank Indonesia melakukan penilaian dan evaluasi,” kata Mahdi. Selain pada Bank Bentral, sebetulnya bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan GCG-nya pada beberapa lembaga lainnya, yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga pemeringkat di Indonesia, Asosiasi-Asosiasi Bank di Indonesia, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), dan dua majalah ekonomi dan keuangan, paling lambat lima bulan setelah tahun buku berakhir. Namun, hingga Juli 2012 Bank Aceh belum menyerahkannya.
Aroma “konflik” memang begitu terasa di internal Bank Aceh. Santer terdengar, harmonisasi yang kurang berjalan baik di level direksi mempengaruhi performa bank. Kondisi itu memang tak terlalu tampak di permukaan. “Tapi, terasa hingga ke level bawahan,” kata seorang karyawan Bank Aceh.
Menurut dia, kebijakan-kebijakan Bank Aceh sering dipengaruhi oleh kubu-kubu yang “berseteru” di dalamnya. Sebagian berada dalam komando Islamuddin Cs. Selebihnya masih setia dengan direksi lama yang “dikontrol” Aminullah Usman, mantan Dirut Bank Aceh.
Macetnya komunikasi di level manajemen inilah yang membuat kinerja Bank Aceh bak jalan di tempat. Jajaran direksi, yang diharapkan mampu meningkatkan peran bank dalam menggerakkan perekonomian daerah, dianggap belum juga menelurkan terobosan-terobasan baru sejak terpilih melalui uji kepatutan dan kelayakan pada 2010.
Bahkan, kewajiban menyusun laporan GCG-pun tak kunjung rampung. Tak heran motivasi karyawan menjadi rendah lantaran jasa produksi (bonus) 2011 tak kunjung diteken direksi karena laporan GCG belum mendapat penilaian dan evaluasi dari Bank Sentral.
Dalam laporan GCG-nya, bank memang diwajibkan mencantumkan besaran remunerasi (gaji, bonus, tunjangan rutin, tantiem, dan fasilitas lainnya) para direksi dan komisaris. Bank Sentral kemudian akan melakukan penilaian kelayakan dari laporan tersebut. “Besaran remunerasi direksi ini belum ‘disetujui’ BI. Imbasnya, direksi menahan jasa produksi seluruh karyawan tahun 2011,” kata karyawan tadi.
Kebijakan-kebijakan Islamuddin memang cenderung tak populis di mata mayoritas karyawan Bank Aceh. Tak mengagetkan bila aroma tak sedap terus menyeruak keluar, termasuk persoalan-persoalan penyimpangan internal (internal fraud) yang dilakukan sejumlah karyawannya. “Seperti kasus kebobolan terjadi beberapa waktu lalu di kantor pusat yang dilakukan oleh karyawan setempat,” kata seorang sumber.
Di kalangan internal Bank Aceh, kasus ini sudah heboh sejak Maret 2012. Seorang petugas operasional berinisial B bekerja sama dengan petugas teler berinisial DA. Keduanya diduga membobol dana nasabah mencapai puluhan juta. (baca: “Bobol Lagi Setelah Sri”). Keduanya memang sudah menjalani masa skorsing. “Namun begitu, kasus ini jelas melunturkan kepercayaan nasabah kepada bank, apalagi kasus serupa juga baru saja terjadi pada 2011 lalu di Sabang,” katanya.
Hubungan keluarga Islamuddin dengan Kepala Divisi Pemasaran Bank Aceh, Lufti, dikhawatirkan kalangan internal bisa berpotensi mempengaruhi kebijakan direksi. Lufti memang diketahui memiliki hubungan kekeluargaan dengan Islamuddin. “Lufti adalah iparnya Islamuddin,” katanya.
Namun, Bank Sentral belum mencium adanya pengaruh terhadap bank akibat hubungan kekerabatan dua jajaran eksekutif Bank Aceh ini. “Secara aturan, itu memang masih memungkinkan dan tidak mempengaruhi kebijakan direksi,” kata Mahdi Muhammad.
Islamuddin menolak dikonfirmasi mengenai kasus pembobolan uang nasabah oleh anak buahnya itu. Begitu juga soal laporan GCG Bank Aceh yang belum diserahkannya ke Bank Sentral. Sejak Senin 9 Juli 2012, The Atjeh Times berupaya mewawancarai Islamuddin, tetapi selalu menemui jalan buntu. Seorang staf, yang dihubungi untuk menjadwalkan janji wawancara, juga tak kunjung menjawab. Dihubungi ke telepon selulernya, Islamuddin juga tak merespons. Pesan singkat yang dilayangkan juga tak berbalas.
Pengamat perbankan, Aliamin, menilai bahwa sederet persoalan yang melilit Bank Aceh ini jelas tak bisa dianggap sepele. Persoalan kredit macet, misalnya, harus benar-benar ditangani secara serius dan terukur karena dana tersebut sejatinya uang rakyat Aceh yang ditempatkan pemerintah di bank tersebut.
Uang Rp 323 miliar tentu tak sedikit. Jika dikonversikan dalam bentuk jaminan kesehatan saja, ini dapat melayani rakyat Aceh sedikitnya selama satu tahun.
Tak kunjung rampungnya rencana strategis Bank Aceh juga merupakan indikator bahwa ada persoalan kinerja yang tak berjalan dengan baik. “Ini harus jadi barometer pemegang saham pengendali untuk mencermati apa yang sedang terjadi di internal bank tersebut,” kata Aliamin, Senin 9 Juli 2012.
Kondisi ini, kata dia, tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Para pemegang saham mesti cepat merespons dengan mencari solusi terbaik ke depan. “Harus ada evaluasi menyeluruh,” katanya.
sumber : atjehpost.com
0 komentar:
Post a Comment