Beragam tradisi ada di Aceh ketika menyambut bulan suci. Dari tradisi penyerahan diri kepada Khalik lewat sulok hingga lepat antibasi di Tanoh Gayo.
Suluk atau sulok dalam bahasa Aceh merupakan bentuk ritual zikir, tahlil, dan tahmid dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Sulokmerupakan salah satu tradisi menyambut Ramadan yang hingga kini masih ada di Aceh Selatan. “Insya Allah Puasa tahun ini, Nenek ikut lagi,” ujar Nek Halimah.
Nek Halimah ingat betul aturan mengikuti sulok. Ketika mengikuti sulok, seseorang harus berada dalam bilik. Bukan bilik sembarangan; ditutupi kain putih setipis kelambu. Para pengikut sulok saban hari dan malam berzikir di dalamnya.
Kata Nek Halimah, kalau sudah berada di dalam bilik, semua hal duniawi terlupakan sendiri. “Makan saja kita sudah tidak ingat. Rasanya mau dekat dengan Allah swt. selalu,” ujarnya.
Selama ikut sulok, ia dan peserta lain tidak dibolehkan menyentuh daging. “Telur ayam saja tidak boleh kita makan,” ujar Nek Halimah. Maka, sebulan penuh itu peserta sulok hanya mengonsumsi nasi dan sayur-sayuran yang direbus.
Di Aceh Selatan, khususnya di Kluet Utara, sulok kerap diselenggarakan di Dayah Darurrahmah. Namun, pengikut sulok juga datang dari luar Kluet Utara.
Sehari sebelum puasa pertama, kata Nek Halimah, peserta sulok mesti berada di dayah itu. Saat berada dalam bilik, peserta dilarang keluar. Hubungannya dengan dunia luar seperti terputus. Bahkan kerabat saja dilarang menemui mereka.
Selain sebulan puasa, sulok juga dilaksanakan 10 hari menjelang Idul Adha. Orang yang ikut sulokumumnya sudah lanjut usia. Mereka baru kembali ke rumah masing-masing usai salat Ied berjamaah.
Jika sulok merupakan salah satu tradisi menyambut Ramadan di Aceh Selatan, di dataran tinggi Gayo, ada juga tradisi menjelang Ramadan. Namanya lepat Gayo. Ini penganan seperti thimpan di Aceh pesisir.
Bedanya, lepat Gayo tak mudah basi, tahan lama hingga sebulan. Jika thimpan dibungkus daun pisang muda, lepat menggunakan daun pisang tua.
Menurut Inen Haichal, warga Bener Meriah, lepat juga dibuat menjelang hari raya. Alasan lepat tidak basi karena bisa diawetkan. Penganan itu tinggal digantung hingga kering. “Ketika hendak dimakan, tinggal memanggang di atas bara api,” ujar Inen.
“Lepat Gayo itu terbuat dari tepung beras ditambah tepung ketan, lalu diaduk dengan air gula. Setelah itu, diberi kukuran kelapa yang dicampur gula merah,” ujar Inen. Setelah dibungkus daun pisang, lepat dimasak di atas api dari kayu bakar.
Tak hanya warga asli, Inen melihat tradisi membuat lepat juga dilakukan pendatang beragam etnis yang menetap di Gayo. Namun, kian lama tradisi ini semakin menghilang. Menurut Inen, ilmu membuat lepat kini hanya dimiliki orang-orang berumur 40 tahun ke atas.
Tradisi membuat penganan juga ada di Aceh Besar. Namanya ie bu peudah. Kurang lebih berarti bubur pedas. Makanan ini dibuat dari campuran merica.
Tidak tanggung-tanggung, ada 44 jenis bahan dicampur dalam ie bu peudah. Karena itu, proses membuat ie bu peudah juga rumit. Penganan ini biasa dibuat sebulan atau dua bulan sebelum Ramadan.
Keempat puluh empat bahan itu terdiri dari bermacam jenis dedaunan, biji-bijian, dan kacang-kacangan, seperti daun saga, beras, jagung, dan kacang hijau. “Ada juga rempah-rempah, seperti kunyit dan merica,” ujar Hajjah Nuraini, Tim Penggerak PKK Aceh.
Kerumitan menghasilkan ie bu peudah karena bahannya susah dicari. Daun saga, misalnya. Menurut Nuraini, dedaunan ini hanya tumbuh di hutan. Ia biasanya memesan dari orang-orang yang tinggal di kawasan Ujong Pancu.
Setelah terkumpul, semua bahan kemudian disangrai dan ditumbuk kasar. Uniknya, jika tak habis digunakan, racikan dapat disimpan untuk Ramadan tahun depan. Setelah ramuan dicampur bahan-bahan lain, bentuk akhirnya bakal menjadi kental serupa bubur.
Ie bu peudah tak hanya populer di Aceh Besar. Di sepanjang pesisir utara dan timur Aceh juga dikenal makanan serupa. Namun, warnanya sedikit berbeda. Di Aceh Besar ie bu peudah berwarna hijau karena didominasi kacang hijau, sedangkan di kawasan timur Aceh cenderung kekuningan.
Di Pidie makanan serupa itu disebut ie bu kanji. Masyarakat biasa memasaknya secara gotong royong di meunasah. Proses membuatnya disebut wöt ie bu. Tak sekadar memasak, budaya ini sudah turun-temurun dilakukan selama Ramadan. Orang-orang bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Namun, ada satu orang ditunjuk sebagai penanggung jawab. Ia dipilih melalui rapat gampông.
Biaya memasak kanji berasal dari dana kas gampông. Tiga hari menjelang Ramadan penanggung jawab telah menyiapkan dapur dari tanah liat. Di atasnya ditempatkan belanga besi yang besar. Sebulan penuh, dapur itu permanen digunakan untuk memasak kanji.
Menurut Teungku Non di Gampông Jurong, Indrajaya, selain penganan itu, di Pidie juga ada ie bu ôn kayèe. Namun, kata Teungku Non, penganan serupa bubur ini sudah jarang dibuat.
Seingat dia, ketika kecil dulu, ia pernah melihat makanan itu dibuat. Bubur itu hanya dibuat pada malam tertentu seperti 17 Ramadan. Pembeda dengan ie bu kanji, ie bu ôn kayèe tidak menggunakan santan. Namun, jumlah bahannya sama dengan ie bu peudah.
Masakan itu, kata Teungku Non, memang sengaja dibuat karena masyarakat Aceh memiliki kebiasaan berbuka puasa di meunasah. Pada setiap meunasah, bubur kanji selalu menjadi hidangan pembuka. Zaman dulu, kata Teungku Non, bubur itu dihidangkan dalam bruek u atau batok kelapa.
Di kabupaten tetangganya, Pidie Jaya, ie bu kanji itu disebut kanji rumbi. Waki Sen, pembuat kanji rumbi di Meunasah Tunong Gampong, Ulee Gle, pernah mendengar kalau penganan ini berasal dari India. Kebiasaannya, kata Waki Sen, kanji rumbi hanya dibuat oleh satu orang saja yang telah dipercaya warga.
Saban sore menjelang waktu berbuka, meunasah sudah ramai oleh anak-anak dan orang dewasa. Mereka menunggu kanji dibagikan oleh tukang masak seperti Waki Sen. Masing-masing membawa wadah sendiri. Selain disantap bersama di meunasah, ada juga yang membawa pulang kanji tersebut.
Di Bireuen, menjelang Ramadan, warga beramai-ramai menumbuk tepung dengan alat tradisional bernama jeungki. Namanya top teupông. “Padum arè neutop teupông Puasa?” Pertanyaan ini kerap terdengar di antara kaum ibu di pelosok Bireuen.
Jeungki alat tradisional mirip jungkat-jungkit. Selain beras, padi juga sering ditumbuk dengan jeungki. Karena jeungki kian langka, warga khususnya ibu-ibu harus antre memakainya. Antara mereka pula, sudah ada kesepakatan lisan. Bila ada giliran top teupông di hari yang sama, mereka saling bantu. Untuk pekerjaan ini minimal butuh tiga orang. Seorang menjungkit jeungki. Seorang lagi mengaduk beras. Satu lainnya mengayak tepung. Tepung itu nantinya digunakan untuk membuat kue selama Puasa dan Lebaran.
Tradisi lain yang masih ada di Bireuen ialah peugléh meunasah. Laki-laki khususnya membersihkan tempat ibadah itu karena selama Puasa digunakan untuk tarawih dan tadarus.
Ada juga kebiasaan meuramien atau rekreasi di pantai. Masyarakat berduyun-duyun ke pantai bersama keluarga beberapa hari sebelum Ramadan. Kegiatan ini juga disebut Rabu abéh.Warga Sabang juga mengenal meuramien. Kegiatan ini dimanfaatkan warga untuk bersilaturahmi antarsesama.
Di Sabang juga ada tradisi ziarah ke 44 makam keramat. Menurut Jamin Seda, Kepala Bidang Kebudayaan dan Kepurbakalaan Dinas Pariwisata, Sabang, ziarah ini bahkan membetot perhatian turis mancanegara yang berkunjung ke daerah itu.
“Tradisi meuramien dan ziarah makam 44 keramat sudah dimulia sejak ratusan tahun lalu saat sejumlah masyarakat dalam kelompok-kelompok kecilnya mulai membentuk pemukiman di wilayah pesisir Sabang,” ujar Jamin Seda.
Makam-makam keramat itu, kata Jamin, terdapat di Jaboi, Ibôh, Keramat Pandan,Tapak Gajah, Makam Tengku Rubiah, Anoi Itam, dan sejumlah tempat lain. Ziarah itu bukan ritual pemujaan, kata Jamin, melainkan upaya pembersihan hati dan permohonan ampun kepada Khalik.
Terlepas dari tradisi-tradisi itu, Tengku Nasruddin, mantan Ketua Majelis Mukim Aceh Besar, mengatakan, hampir seluruh masyarakat Aceh sudah mempunyai cara sendiri menyambut Ramadan sejak Syakban.
Sejak malam Nisfu Syakban, kata dia, ada tradisi tôp semeubeut, tôp dalaé, dan juga disunatkan berpuasa tiga hari. “Sehari sebelum Nisfu Syakban, hari Nisfu Syakban, dan sehari setelah Nisfu Syakban,” ujar mantan Imum Mukim Lam Leuot, Aceh Besar. Hal itu semua dilakukan, kata Nasruddin, untuk memuliakan Ramadan.
Namun, Nurdin Ibrahim, pemerhati kebudayaan Aceh yang berdomisili di Langsa, mengatakan tradisi keagamaan menyambut bulan suci mulai dilupakan masyarakat kota. “Masyarakat sudah terlalu mengejar dunia sehingga melupakan ibadah,” ujar Nurdin.
Tradisi keagamaan yang mulai lekang, contoh dia, khususnya di Langsa, khanduri apam pada bulan Rajab. “Dalam bulan tersebut di setiap meunasah di Aceh selalu ada khanduri apam.” Demikian juga pada bulan Syakban, kata Nurdin, yang dikenal sebagai bulan Khanduri Bu.
Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Profesor Bahrein T. Sugihen, menilai ragam tradisi itu harus dilestarikan. “Bagi saya itu adalah sebuah rahmat. Kita ini ada karena adanya perbedaan. Perbedaan-perbedaan, asal tidak merusak, tetap harus dianjurkan,” ujarnya. Secara sosiologis, kata Guru Besar Unsyiah ini, perbedaan itu sangatlah bagus.
Tradisi-tradisi di NanggroeAceh SelatanSulok: Berzikir dalam sebuah bilik selama sebulan penuh.
Aceh BesarIe Bu Peudah: Masakan bubur dari 44 macam bahan
PidieIe Bu Kanji: Bubur seperti ie bu peudah, tetapi berwarna kuning
Bener MeriahLeupat Gayo: Penganan seperti thimpan, tetapi bisa tahan hingga sebulan
BireuenTop Teupông: Menumbuk tepung sebagai bahan membuat kue untuk puasa dan lebaran
SabangZiarah: Tradisi ziarah ke 44 makam keramat
0 komentar:
Post a Comment