KENING Said Faisal berkerut. Ia menatap lekat, lalu membolak-balik setumpuk dokumen yang disodorkan The Atjeh Times ke hadapannya. Kepala Seksi Penyiapan Wilayah dan Konservasi Pertambangan Mineral Batubara, Panas Bumi di Dinas Pertambangan dan Energi Aceh itu sama sekali belum pernah mendengar nama “Prosperity Resources”, perusahaan tambang asal Australia.
“Perusahaan ini (Prosperity Resources) tidak ada dalam daftar perusahaan yang beroperasi di tambang emas Aceh Selatan,” kata Said Faisal kepada The Atjeh Times, Senin awal pekan ini.
Padahal, pada 20 Juni, nun jauh di Australia sana, Prosperity Resources mengumumkan telah menandatangani perjanjian dengan mitra lokal untuk segera masuk ke tahap produksi penambangan emas di Aceh Selatan. Pengumuman itu disampaikan di bursa saham Australia, lalu dikutip sejumlah media negeri kangguru itu. Pengumuman itu juga dipajang diwebsite milik mereka yang beralamat di www.prosperity.net.au.
Padahal, pada 20 Juni, nun jauh di Australia sana, Prosperity Resources mengumumkan telah menandatangani perjanjian dengan mitra lokal untuk segera masuk ke tahap produksi penambangan emas di Aceh Selatan. Pengumuman itu disampaikan di bursa saham Australia, lalu dikutip sejumlah media negeri kangguru itu. Pengumuman itu juga dipajang diwebsite milik mereka yang beralamat di www.prosperity.net.au.
“Prosperity Resources telah membuat perjanjian untuk mempercepat pengembangan proyek 41 ribu hektare emas dan tembaga di Aceh, Indonesia. Perjanjian ini memberi garansi untuk pelibatan partner lokal untuk menjamin dan membuka akses ke semua lokasi proyek, dan mempercepat pengembangan operasi untuk arus kas jangka pendek untuk kepentingan pemegang saham dan masyarakat setempat,” begitu bunyi kalimat pembuka pengumuman itu.
Prosperity juga menekankan tentang perlunya melibatkan partner lokal sebagai kunci sukses proyek pertambangan mineral di Indonesia. Itu sebabnya, mereka menggandeng sebuah perusahaan yang disebut mitra lokal. Disebut juga sebuah nama di balik perusahaan bernama Atjeh Investment Consultancy Pte Ltd itu: Pedro Limardo. (baca: Misteri Pedro Limardo di Tambang Emas Aceh Selatan).
Hal lain, Prosperity mengumumkan segera memasuki tahap persiapan produksi dengan menggunakan metode open-pit mining. Ini artinya, penambangan dilakukan dengan membuka lubang besar untuk mengeruk emas. Sistem ini dianggap lebih ekonomis dan lebih cepat daripada menggunakan sistem under ground dengan cara menyusur urat-urat titik potensi emas untuk menyusuri lubang-lubang sampai menemukan sumber emasnya.
“Artinya gunung-gunung di lokasi akan dikeruk. Ini sebetulnya bertentangan dengan konservasi, tetapi banyak dilakukan,” kata Bambang Setiawan, lulusan Geologi Universitas Padjajaran Bandung yang kini menjadi dosen di Unsyiah.
Inilah yang membuat Said Faisal bingung. Kata dia, berdasarkan data yang ada, saat ini ada 6 perusahaan dan satu koperasi rakyat yang bergerak di bidang tambang emas di Aceh Selatan. “Dari keenam perusahaan itu tidak ada yang namanya ‘Prosperity Resources’,” kata Said.
Dari data yang ia punya, kata Said, enam perusahaan itu adalah: PT Bintang Agung Mining, PT Mulia Kencana Makmur, PT Multi Mineral Utama, PT Aneka Mining Nasional, PT Arus Tirta Power, dan PT Aspirasi Widya Chandra.
“Dari enam perusahaan ini, lima di antaranya baru tahap mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk eksplorasi, sedangkan yang sudah masuk ke tahap produksi baru satu, yaitu PT Multi Mineral Utama,” kata Said.
Eksplorasi adalah istilah pertambangan untuk kegiatan survei, meneliti kandungan, dan kualitas bagian galian. Adapun ekploitasi adalah tahapan produksi pertambangan untuk menghasilkan dan memanfaatkan bahan galian.
Bermarkas di Australia, Prosperity Resource adalah perusahaan penambangan emas yang beroperasi di Australia dan Indonesia. Di Indonesia, satu-satunya wilayah garapannya adalah Aceh. Perusahaan ini juga terdaftar di bursa efek Australia, Australian Securities Exchange (PSP).
Bagaimana Prosperity Resources masuk ke Aceh Selatan? Dari Laporan Tahunan 2011 yang dimuat di website-nya, Prosperity punya 11 anak perusahaan yang berkantor di Australia, Singapura, dan Indonesia. Yang mengejutkan, dari 11 anak perusahaan itu, enam di antaranya adalah perusahaan tambang emas yang kini beroperasi di Aceh Selatan. Dengan kata lain, Prosperity menggunakan enam perusahaan itu untuk menggaruk punggung bukit Aceh Selatan yang bertabur emas.
Dalam laporan itu, Prosperity menyebutkan memiliki 83,7 persen saham di PT Aspirasi Widya Chandra, PT Arus Tirta Power, dan PT Aneka Mining Nasional. Tiga lainnya: 64,8 persen di PT Multi Mineral Utama, serta menguasai masing-masing 41,31 persen saham di PT Mulia Kencana Makmur dan PT Bintang Agung Mining. (baca: Ini Lokasi Garapan Perusahaan Australia di Aceh Selatan)
Lewat keenam perusahaan inilah Prosperity merangsek ke sejumlah lokasi tambang emas di kawasan perbukitan Aceh Selatan sejak 2010. Lokasi eksplorasi di antaranya dilakukan di Pelumat, Mutiara, Panton Luas, Air Pinang, Nilam, Pala, Kuini, dan Jelatang. Semua daerah ini tersebar di areal sepanjang 60 kilometer di pesisir selatan Aceh.
Dari sejumlah lokasi itu, pada 2011, Prosperity berfokus di dua lokasi, yaitu Mutiara dan Panton Luas. “Perusahaan telah menyelesaikan prospek pengeboran pertama di Panton Luas selama tahun fiskal 2011.
Hasil eksplorasi itu lalu diumumkan di Bursa Efek Australia. “Jika perusahaan itu sudah go public, pengumuman itu bisa untuk mendapatkan dana segar dari masyarakat atau investor sehingga secara struktur bukan utang, melainkan penambahan modal,” kata Thasrif Murhadi, dari Pusat Pelayanan Informasi Pasar Modal Bursa Efek Indonesia di Banda Aceh.
Tambahan dana dari investor itulah yang akan dipakai untuk memulai eksploitasi tambang emas. Dalam sejumlah laporan prospek yang dikeluarkan oleh Prosperity, disebutkan Aceh Selatan punya prospek emas besar. Itu sebabnya, Prosperity pun silau oleh kemilau emas.
Lalu, apa peran Pedro Limardo? Senada dengan Thasrif, Bambang Setiawan menilai tindakan Prosperity mengumumkan nama Pedro Limardo adalah untuk menjual prospek ke bursa saham. “Mereka ingin mengatakan bahwa lokasi tambang itu akan mendatangkan keuntungan yang cepat bagi yang mau berinvestasi karena didukung oleh pemimpin lokal.”
Berdasarkan data tentang potensi emas yang diperoleh The Atjeh Times, Bambang mengatakan, di Panton Luas saja selain emas juga ada potensi tembaga. “Potensi emasnya lebih besar daripada tembaga. Bahkan mereka mengistilahkan dengan gold-rich, artinya kaya dengan emas.”
Potensi itu diketahui lewat pengambilan data menggunakan metode aeromagnetic survey, pengeboran dan pemetaan. Khusus metode aeromagnetic, metode itu dilakukan dengan memancarkan gelombang dari atas helikopter, “lalu, gelombang itu akan memantulkan potensi emas yang terkandung di wilayah yang disurvei. Ini teknologi tinggi,” kata Bambang.
Data itu juga menunjukkan pengeboran dilakukan di 16 titik pada kedalaman 50 -200 meter dengan bentuk horizontal, melubangi bukit. Hasilnya, diperoleh potensi emas 2,7 – 15,3 gram emas untuk setiap ton batu pada kedalaman 3 hingga 15 meter. “Artinya, prospek emas di Aceh Selatan memang banyak,” kata Bambang.
Bahkan, kata Bambang, tak tertutup kemungkinan kandungan mineralnya lebih besar daripada data yang dipublikasikan. Seharusnya, kata dia, pemerintah menekan pihak perusahaan untuk memberi data kandungan tambang.
“Harusnya pemerintah bilang, kamu boleh masuk di daerah kami, asalkan data mentahnya diberikan kepada pemerintah setempat. Ini kesalahan pemerintah kita karena seharusnya kita ada pertinggal data mentahnya.”
Di Aceh Selatan, kehadiran perusahaan tambang telah lama memunculkan konflik dengan warga setempat. Kehadiran PT Mulia Kencana Makmur di Panton Luas, Sawang, misalnya, membuat warga meradang. Pasalnya, warga sudah lebih dahulu membuka tambang tradisional di sana. Itu sebabnya, pada Oktober 2010, ratusan masyarakat penambang tradisional turun ke jalan, menolak kehadiran PT Mulia Kencana Makmur di daerah mereka. Ketika itu, PT Mulia malah menghentikan sementara kegiatannya dengan menarik peralatan kerja dari lokasi.
Hal serupa juga menimpa PT Bintang Agung Mining yang beroperasi di Peulumat, Kecamatan Labuhan Haji Timur. Pada 31 Maret 2011, ratusan warga berunjuk rasa menolak keberadaan Bintang Agung. Pasalnya, di sana juga ada pertambangan rakyat. Bahkan, menurut warga, pihak perusahaan tidak melaporkan ke pemilik lahan ketika melakukan pengambilan sampel emas.
Seperti halnya Said Faisal dari Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, sejumlah warga juga tidak tahu jika perusahaan Australia berada di balik perusahaan tambang itu. “Kalau mereka beroperasi lagi, siap-siap saja berhadapan dengan masyarakat,” ujar Budiman, warga asal Aceh Selatan di Banda Aceh.
Direktur Walhi Aceh, Zulfikar, juga tidak tahu soal kepemilikan perusahaan Australia di perusahaan tambang emas yang beroperasi di Aceh Selatan. “Kami akan mendalami informasi itu. Setahu saya, ada perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan lindung. Itu sangat berbahaya dan merusak lingkungan,” kata Zulfikar.
Di luar soal kepemilikan saham perusahaan Australia, sebenarnya masalah sudah dimulai sejak penerbitan Izin Usaha Pertambangan oleh Bupati Aceh Selatan. Qanun Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pertambangan Umum, Minyak Bumi dan Gas Alam menyebutkan, bupati baru boleh mengeluarkan izin setelah ada rekomendasi atau izin prinsip dari gubernur.
“Tiga dari enam perusahaan itu tidak punya izin dari gubernur, itu melanggar aturan,” kata Said. Berdasarkan catatan Said Faisal, ketiga perusahaan yang tidak mengantongi izin gubernur adalah PT Aneka Mining Nasional, PT Arus Tirta Power, dan PT Aspirasi Widya Chandra. Sayangnya, hingga laporan ini diturunkan, pihak perusahaan belum dapat dikonfirmasi.
Menurut Said, qanun juga mengatur tentang luas wilayah yang dapat diberikan. Untuk tahap eksplorasi, kata dia, satu perusahaan maksimal dapat beroperasi di 10 ribu hektare lahan. Adapun untuk tahap eksploitasi, maksimal 5.000 hektare. Selain itu, ada pula aturan yang mengatur satu perusahaan hanya boleh beroperasi di satu tempat untuk jenis bahan tambang yang sama.
“Jika menggarap tambang emas, satu perusahaan hanya boleh di satu tempat. Boleh di dua tempat, tetapi menggarap tambang yang lain seperti bijih besi.”
Jika menyimak laporan Prosperity Resources yang menyebut mengelola 41 ribu hektare lahan, apakah berarti Prosperity memakai enam perusahaan itu untuk menyiasati aturan? “Patokan kita cuma di nama perusahaannya. Kalau dia menggunakan perusahaan lain tentu kita tidak tahu,” jawab Said sambil geleng-geleng kepala.atjehpost.com
0 komentar:
Post a Comment